Selasa, 03 Januari 2012

masalah ham

Masalah Hak Azasi Manusia (HAM) “populer” di Indonesia pada masa pemerintahanOrde Baru. Di masa ini banyak peristiwa yang dinilai merupakan pelanggaran HAM.
Pada dasarnya HAM terdapat pada UUD 1945 BAB X-A pasal 28-A sampai dengan pasal 28-J. Sebagian kalangan menafsirkan, dengan adanya dasar hukum tersebut maka masyarakat Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (UUD 1945 Amandemen ke-2 pasal 28-D ayat 1).
Memang jika ditilik dari defenisi HAM maka di Indonesia tercatat banyak sekali kasus yang terjadi khususnya di bidang HAM. Misalnya kasus-kasus penggusuran rumah-rumah warga yang dibangun di sekitar jembatan, pembersihan para pedagang kaki lima yang sering meresahkan para pengguna jalan raya seperti para pengguna kendaraan bermotor dan para pejalan kaki.
Pada masa menjelang peralihan pemerintahan dari masa Orde Baru ke masa Reformasi banyak sekali kejadian menyangkut pelanggaran HAM ini. Peristiwa 1998 yang berujung penguduran diri Presiden Soeharto pada waktu itu sebetulnya adalah puncak dari segela peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan yang sangat represif, banyak aktifis yang tiba-tiba hilang tak tahu di mana rimbanya. Disinyalir kuat mereka telah diculik dan dibunuh oleh tangan-tangan penguasa pada waktu itu.
Aksi demo besar-besaran mahasiswa dari seluruh Indonesia juga menyimpan sejumlah kasus pelanggaran HAM oleh aparat keamanan terhadap rakyat sipil. Semuanya berlangsung secara sporadic dan sangat massif pada waktu itu. Karena institusi hokum telah dikuasai oleh penguasa, maka HAM adalah alat yang digunakan untuk menjerat para pelaku pelanggaran tersebut.
Bahkan ketika masa reformasi, cara-cara pelenyapan aktifis masih juga terjadi. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana almarhum Munir yang tewas secara mendadak dalam perjalanannya ke Belanda. Di dalam darahnya ditemukan racun jenis arsen yang melewati ambang batas normal. Diduga kuat dia telah dengan sengaja diracun.
Maka popularitas HAM ini semakin mendapat tempat di negeri ini. Telahpun masuk ke dalam struktur Negara melalui pembentukkan Komisi Nasional (Komnas) HAM.
HAM dan aliran sesat
Pada perkembangannya, HAM kemudian tidak banyak bersinggungan dengan pesoalan kekerasan atau peleyapan para aktifis. Iklim demokrasi yang lebih terbuka bagi aspirasi membuat perubahan pola relasi antara pemerintah dan masyarakat.
Akan halnya HAM kemudian mencari bentuknya sendiri atau dengan kata lain mulai menjamah ranah lain seperti persoalan agama. Belum lama sejumlah kalangan menggugat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MU) tentang aliran sesat dan mengecam pelarangan beberapa aliran sesat oleh Kejaksaan Agung RI .
Bahkan, mereka juga menuntut agar MUI dibubarkan. Karena mereka mengangap pelarangan terhadap aliran sesat adalah tindakan pelanggaran HAM. Inilah suatu bentuk aktifitas HAM model baru seiring perubahan iklim demokrasi di negeri ini.
Banyak yang dinilai, aktifitas para aktifis HAM ini kurang kerjaan, ada juga yang menilai aktifitas HAM di negeri ini sebagai alat titipan kepentingan tertentu. Mereka sengaja didanai untuk memperjuangkan kepentingan tersebut baik mereka sadari maupun tanpa mereka sadari.
Karena jika disimak secara mendalam, pendapat mereka yang katanya membela kebebasan dan HAM itu sangatlah lemah. Karena di sekeliling kita banyak sekali orang-orang yang mengaku sebagai nabi baru, mengaku malaikat bahkan mengaku sebagai tuhan. Orang-orang seperti ini tidak sekedar mengaku-ngaku tetapi menyebarkan fahamnya itu kepada orang. Dan celakanya banyak orang yang mempercayainya dan kemudian menjadi pengikutnya.
Tidak sedikit kemudian mereka yang membawa ajaran tersebut ternyata memperdaya pengikutnya. Ada yang mengutip sejumlah uang, ada pula yang mencabuli para pengikutnya tersebut. Dalam aksinya mereka kerap mengatasnamakan ajaran agama tersentu. Maka tidak dapat disangkal lagi bahwa tindakan ini adalah tindakan meresahkan.
Karena harus kita fahami bahwa tindakan aparat penegak hukum yang menangkap para pimpinan aliran sesat dan pengikutnya, secara sosio-yuridis merupakan kebijakan yang sangat tepat dan berdasar.
Hal tersebut dilakukan selain untuk mencegah terjadinya aksi-aksi anarkis, juga merupakan amanat konstitusi. Karena ada rumusan delik dalam pasal 156 KUHP, bahwa: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia , (b) dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan yang perlu diketahui adalah bahwa dalam negara hukum (rechtstaat), bukan saja warga negara yang harus tunduk dan taat kepada hukum, tetapi negara beserta seluruh komponen penyelenggara negara termasuk Komnas HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi dan menegakkan HAM juga wajib taat kepada hukum. Hal ini dipertegas sendiri oleh pasal 67 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM:  “Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia .”
Sungguh merupakan hal yang tidak dapat disangkal bahwa dalam konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah dijamin hak setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama yang diyakininya. Akan tetapi hukum juga yang mengatur bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan itu, tentu harus mengedepankan unsur ketertiban dan kehormatan nilai-nilai kesucian ajaran agama/kepercayaan pihak lain.
Maka jika kita mengakui universalitas HAM disandarkan pada standar nilai dan otoritas, maka kita boleh dinafikan adanya sistim pemeliharaan kesucian ajaran suatu agama. Islam juga mempunyai standar nilai dan otoritas dalam menjaga kesucian dan keagungan ajarannya yakni enam rukun iman dan lima rukun Islam. Oleh karenanya jika ada aliran kepercayaan menatasnamakan Islam, tetapi menyimpang dari standar nilai Islam, inilah yang disebut ajaran sesat. Merekalah orang yang melakukan penodaan agama.
Penutup
Setidaknya ada dua asumsi yang mengemuka. Pertama HAM telah kehilangan popularitas, makna dan momentumnya ketika masalah-masalah kekerasan terstruktur tidak lagi banyak terjadi seiring perubahan iklim demokrasi di Indonesia . Ini kemudian memunculkan peran baru HAM untuk menjamah sektor agama yang sebetulnya sudah sangat salah kaprah.
Asumsi kedua adalah HAM merupakan alat yang memang sengaja dipasang di negeri ini untuk kepentingan tertentu. Berbagai hal yang dianggap kontraproduktif bagi kepentingan tersebut akan coba dianulir dengan menggunakan HAM sebagai alatnya.
Kedua asumsi ini sama-sama memiliki alasan. Oleh karenanya sudah sepantasnya kita mengembalikan posisi HAM sebagaimana semenstinya. ***** (Erwin Pardede : Penulis adalah Kepala Diklat Industri Reg.I Medan )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar